Saturday, April 26, 2008

Refleksi

Pengorbanan seorang Ibu untuk pendidikan anak-anaknya


Pada tanggal 25 April 2008 saya, Yessica Chorine beserta teman kelompok saya Annisa Nadhila atau sering dipanggil Nisa bersama-sama mencari orang untuk diwawancarai untuk tugas agama. Awalnya kami agak kebingungan untuk melakukan wawancara karena waktu kami padat sekali dengan banyak PR dan kerja kelompok yang lain. Tapi akhirnya kami bisa mengambil waktu untuk mewawancarai seorang ibu-ibu yang kami temui siang hari itu. Ketika itu ia sedang menyapu halaman rumah di sebuah lingkungan perumahan. Walau ia tidak terlihat masih muda, tapi ia mampu untuk menyapu halaman rumah yang cukup luas itu seorang diri. Kami menghampiri Ibu itu dan mulai berbincang-bincang di bawah sinar matahari yang menyengat.
Ia adalah seorang pembantu rumah tangga yang sudah cukup lama bekerja di sana. Ia bekerja dari ia masih muda hingga kini ia sudah mempunyai seorang cucu. Ibu itu bernama Soimah, umur 52 tahun. Ia sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak.
Umurnya sudah cukup tua untuk bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga, tetapi ia tetap bertahan demi kedua anaknya. Ia bekerja menjadi seorang PRT untuk membiayai sekolah kedua anaknya. Suaminya juga bekerja sebagai seorang tukang yang sudah dipercayai oleh keluarga majikannya. Di kampungnya pun ia juga menjadi seorang buruh tani, yang penghasilannya tidak menentu karena keadaan cuaca yang tidak menentu. Kini anak pertamanya telah lulus sekolah dan bekerja menjadi sorang guru, sedangkan yang kedua masih melanjutkan studinya. Ibu Soimah selalu bekerja keras demi pendidikan anaknya. Apapun akan ia jalani demi pendidikan anak-anaknya. Walaupun kini anaknya yang pertama sudah berkeluarga namun ia tetap membantu keuangan karena keuangan anaknya belum dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Usahanya yang harus bekerja keras siang, malam dan tanpa letih berujung sebuah kebahagiaan saat salah satu anaknya sudah berhasil lulus S1. Meski harus dibantu juga oleh majikannya, tetapi ia cukup senang karena anak-anaknya mendapatkan pendidikan sehingga ia berharap yang akan datang anak-anaknya bisa lebih baik lagi kehidupannya dari pada ia dan sang suami. Saat kami bertanya apa ibu soimah mendapat bantuan seperti subsidi atau yang lain baik dari pemerintah maupun lembaga lain, ia berkata bahwa ia tidak pernah mendapatkan hal tersebut dari pemerintah namun ia mendapatkannya dari majikannya. Ia juga tidak mendapatkan bantuan kesehatan pemerintah, begitu juga anaknya yang masih tinggal di kampong, bahkan ia tidak pernah mendapatkan kartu askes atau kartu lainnya. Padahal zaman sekarang kesehatan begitu penting dan fasilitasnya sudah mulai memadai seperti berobat gratis tapi ia tidak merasakan bantuan tersebut. Ia berharap semoga pemerintah bisa lebih memperhatikan tentang para pembantu apalagi yang sering dianiyaya oleh para majikannya. Sungguh besar pengorbanan seorang ibu untuk anak-anaknya.








REFLEKSI
Oleh: Yessica Chorine X2/30

Wawancara ini membuat saya berubah. Bukan hanya sikap saya yang terkadang seenaknya pada pembantu rumah tangga tapi juga perasaan saya yang bersyukur sekali pada Tuhan Yang Maha Esa. Saya sangat bersyukur karena saya bisa merasakan kehidupan yang tercukupi seperti bisa mendapatkan sekolah yang terbaik, bisa membeli barang-barang serta makanan yang saya inginkan tanpa harus memikirkan biayanya.
Bahkan terkadang saya bisa boros dan tidak peduli terhadap berapa banyak uang yang saya keluarkan. Orang tua saya pun kadang saya remehkan.
Padahal orang tua saya dengan senang hati akan mengeluarkan berapapun demi pendidikan yang terbaik untuk saya. Sedangkan Ibu Soimah, ia harus melakukan berbagai pekerjaan demi pendidikan anak-anaknya. Bukan halangan baginya bila ia tidak mempunyai uang simpanan untuk dirinya sendiri demi pendidikan anak-anaknya. Kadang ia juga harus menggunakan pakaian yang sudah tidak layak pakai demi mengumpulkan uang untuk anak- anaknya. Semua ini dilakukannya supaya nasib anaknya tidak sama dengan ia nantinya di masa mendatang.
Melalui wawancara ini, saya sadar bahwa banyak sekali di sekitar saya orang yang tidak mampu hanya untuk mencari sesuap nasi apalagi untuk mendapatkan pendidikan. Meskipun sudah ada fasilitas pendidikan serta pengobatan gratis tapi tidak semua orang yang tidak mampu mendapatkannya.
Saya mengerti akan hal ini terutama tentang sikap saya yang kadang tidak menghormati orang tua karena saya sudah mengerti betapa sulitnya mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup. Saya mengerti akan beban kehidupan yang orang tua saya panggul demi memenuhi kebutuhan hidup saya supaya lebih baik dari mereka.
Saya merasakan bahwa kehidupan ini tidak sepele dan mudah. Mungkin bagi sebagian orang kehidupan ini gampang sekali dilewati, tapi tidak bagi orang lain. Tengok saja Jakarta dimana sebagai kota metropolitan ini terdapat orang-orang yang bergelimang harta dan kesenangan tapi di sudut-sudut mati kota ini banyak orang yang kekurangan makanan dan pakaian, tidak punya rumah dan pendidikan, dll yang menyebabkan mereka stress bahkan bunuh diri. Hal ini bisa menjadi refleksi bukan hanya bagi saya tapi juga yang lain supaya kita peduli dengan orang di sekitar kita yang tidak mampu dan terbuang dari kehidupan yang layak. Selain itu pesan bagi kita adalah untuk tidak membuang-buang uang untuk hal yang tidak penting dan satu hal yang sanagt penting yaitu supaya kita menghargai pengorbanan orang tua kita…

No comments: