Tuesday, April 29, 2008

Kasih Tuhan bagi saya begitu besar. Kenapa saya malah begitu kurang ajar?
Sesi tanya jawab kecil-kecilan yang kami berdua lakukan beberapa hari lalu sungguh membuka mata saya dan seolah mengisyaratkan saya untuk belajar dan sadar. Mencoba menghitung seberapa sering saya bersyukur dan berterimakasih akan hidup dan berkatNya membuat saya malu dan ingin mengutuk diri sendiri yang sungguh egois; jarang sekali rupanya.
Saya melihat kembali kehidupan Sutinah, dan membandingkannya dengan diri sendiri. Ia terlihat begitu pasrah dan menerima dengan lapang dada, segala kekurangan yang ia miliki dalam hal materi. Jarang sekali saya bersyukur atas SEGALANYA yang saya miliki: mulai dari makanan yang dapat saya lahap, tempat tinggal yang layak, sekolah yang bagus dengan fasilitas berkualitas hebat, talenta dan prestasi yang saya dapat, bahkan keberadaan keluarga dan orang-orang terdekat.
Dengan peristiwa ini saya juga diberitahu bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Ia mengasihi semua orang dengan cara yang berbeda-beda.
Terimakasih Tuhan :)

geraldine supit x2/9

Saturday, April 26, 2008

Refleksi Annisa Nadhila x2/3

Hasil wawancara kami dengan ibu Soimah membuat saya sadar dan bersyukur pada Tuhan pada semua yang telah dia berikan pada saya. Saya bersyukur karena saya telah diberikan pendidikan yang terbaik tanpa harus memikirkan yang lainnya. Terkadang kita tidak bisa mensyukuri nikmat pendidikan yang telah diberikan Tuhan. Terkadang kita sering menyianyiakan pendidikan padahal diluar sana masih banyak yang sangat membutuhnkan pendidikan itu, maka kita sebagai orang yang bisa mengenyam pendidikan harus bersyukur dan menjalankannya dengan baik.
Dari wawancara kemarin saya juga menyadari kasih sayang seorang Ibu yang rela memberikan apapun dan melakukan apapun demi anak-anaknya. Seperti Ibu Soimah, dia rela bekerja di Jakarta, jauh dari anak-anaknya. Ia harus bekerja siang dan malam tanpa letih di usianya yang semakin tua hanya demi pendidikan anak-anaknya. Ia membuat saya sadar bahwa orang tua kita bekerja keras, banting tulang demi pendidikan kita. Orang tua kita hanya menginginkan melihat anak-anaknya menjadi sukses dan berhasil di masa yang akan datang. Pengorbanan seorang Ibu untuk anak-anaknya tidak dapat terbayarkan sampai orangtua bisa melihat kita sukses di masa yang akan datang.
Seorang Ibu, orangtua akan melakukan apa saja demi melihat anak-anaknya berhasil di masa depan. Bersyukurlah karena orangtua kita sudah berkorban untuk kita dan buat merekabangga akan kita di masa yang akan datang agar pengorbanan mereka tidak sia-sia.

Refleksi

Pengorbanan seorang Ibu untuk pendidikan anak-anaknya


Pada tanggal 25 April 2008 saya, Yessica Chorine beserta teman kelompok saya Annisa Nadhila atau sering dipanggil Nisa bersama-sama mencari orang untuk diwawancarai untuk tugas agama. Awalnya kami agak kebingungan untuk melakukan wawancara karena waktu kami padat sekali dengan banyak PR dan kerja kelompok yang lain. Tapi akhirnya kami bisa mengambil waktu untuk mewawancarai seorang ibu-ibu yang kami temui siang hari itu. Ketika itu ia sedang menyapu halaman rumah di sebuah lingkungan perumahan. Walau ia tidak terlihat masih muda, tapi ia mampu untuk menyapu halaman rumah yang cukup luas itu seorang diri. Kami menghampiri Ibu itu dan mulai berbincang-bincang di bawah sinar matahari yang menyengat.
Ia adalah seorang pembantu rumah tangga yang sudah cukup lama bekerja di sana. Ia bekerja dari ia masih muda hingga kini ia sudah mempunyai seorang cucu. Ibu itu bernama Soimah, umur 52 tahun. Ia sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak.
Umurnya sudah cukup tua untuk bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga, tetapi ia tetap bertahan demi kedua anaknya. Ia bekerja menjadi seorang PRT untuk membiayai sekolah kedua anaknya. Suaminya juga bekerja sebagai seorang tukang yang sudah dipercayai oleh keluarga majikannya. Di kampungnya pun ia juga menjadi seorang buruh tani, yang penghasilannya tidak menentu karena keadaan cuaca yang tidak menentu. Kini anak pertamanya telah lulus sekolah dan bekerja menjadi sorang guru, sedangkan yang kedua masih melanjutkan studinya. Ibu Soimah selalu bekerja keras demi pendidikan anaknya. Apapun akan ia jalani demi pendidikan anak-anaknya. Walaupun kini anaknya yang pertama sudah berkeluarga namun ia tetap membantu keuangan karena keuangan anaknya belum dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Usahanya yang harus bekerja keras siang, malam dan tanpa letih berujung sebuah kebahagiaan saat salah satu anaknya sudah berhasil lulus S1. Meski harus dibantu juga oleh majikannya, tetapi ia cukup senang karena anak-anaknya mendapatkan pendidikan sehingga ia berharap yang akan datang anak-anaknya bisa lebih baik lagi kehidupannya dari pada ia dan sang suami. Saat kami bertanya apa ibu soimah mendapat bantuan seperti subsidi atau yang lain baik dari pemerintah maupun lembaga lain, ia berkata bahwa ia tidak pernah mendapatkan hal tersebut dari pemerintah namun ia mendapatkannya dari majikannya. Ia juga tidak mendapatkan bantuan kesehatan pemerintah, begitu juga anaknya yang masih tinggal di kampong, bahkan ia tidak pernah mendapatkan kartu askes atau kartu lainnya. Padahal zaman sekarang kesehatan begitu penting dan fasilitasnya sudah mulai memadai seperti berobat gratis tapi ia tidak merasakan bantuan tersebut. Ia berharap semoga pemerintah bisa lebih memperhatikan tentang para pembantu apalagi yang sering dianiyaya oleh para majikannya. Sungguh besar pengorbanan seorang ibu untuk anak-anaknya.








REFLEKSI
Oleh: Yessica Chorine X2/30

Wawancara ini membuat saya berubah. Bukan hanya sikap saya yang terkadang seenaknya pada pembantu rumah tangga tapi juga perasaan saya yang bersyukur sekali pada Tuhan Yang Maha Esa. Saya sangat bersyukur karena saya bisa merasakan kehidupan yang tercukupi seperti bisa mendapatkan sekolah yang terbaik, bisa membeli barang-barang serta makanan yang saya inginkan tanpa harus memikirkan biayanya.
Bahkan terkadang saya bisa boros dan tidak peduli terhadap berapa banyak uang yang saya keluarkan. Orang tua saya pun kadang saya remehkan.
Padahal orang tua saya dengan senang hati akan mengeluarkan berapapun demi pendidikan yang terbaik untuk saya. Sedangkan Ibu Soimah, ia harus melakukan berbagai pekerjaan demi pendidikan anak-anaknya. Bukan halangan baginya bila ia tidak mempunyai uang simpanan untuk dirinya sendiri demi pendidikan anak-anaknya. Kadang ia juga harus menggunakan pakaian yang sudah tidak layak pakai demi mengumpulkan uang untuk anak- anaknya. Semua ini dilakukannya supaya nasib anaknya tidak sama dengan ia nantinya di masa mendatang.
Melalui wawancara ini, saya sadar bahwa banyak sekali di sekitar saya orang yang tidak mampu hanya untuk mencari sesuap nasi apalagi untuk mendapatkan pendidikan. Meskipun sudah ada fasilitas pendidikan serta pengobatan gratis tapi tidak semua orang yang tidak mampu mendapatkannya.
Saya mengerti akan hal ini terutama tentang sikap saya yang kadang tidak menghormati orang tua karena saya sudah mengerti betapa sulitnya mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup. Saya mengerti akan beban kehidupan yang orang tua saya panggul demi memenuhi kebutuhan hidup saya supaya lebih baik dari mereka.
Saya merasakan bahwa kehidupan ini tidak sepele dan mudah. Mungkin bagi sebagian orang kehidupan ini gampang sekali dilewati, tapi tidak bagi orang lain. Tengok saja Jakarta dimana sebagai kota metropolitan ini terdapat orang-orang yang bergelimang harta dan kesenangan tapi di sudut-sudut mati kota ini banyak orang yang kekurangan makanan dan pakaian, tidak punya rumah dan pendidikan, dll yang menyebabkan mereka stress bahkan bunuh diri. Hal ini bisa menjadi refleksi bukan hanya bagi saya tapi juga yang lain supaya kita peduli dengan orang di sekitar kita yang tidak mampu dan terbuang dari kehidupan yang layak. Selain itu pesan bagi kita adalah untuk tidak membuang-buang uang untuk hal yang tidak penting dan satu hal yang sanagt penting yaitu supaya kita menghargai pengorbanan orang tua kita…

Refleksi Pribadi


Refleksi Marlin (X2/17)

Walaupun kehidupannya Pak Ranu pas-pasan namun dia merasa sengan dengan keadaannya. Harapannya pun untuk kebaikan semua anaknya tanpa memikirkan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya yang baik itu menjadi kekuatannya sehar-hari dalm menjalani hidupnya. Banyak orang yang dikaruniai lebih banyak hal dari pada Pak Ranu seringkali tidak mensyukuri apa saja yang mereka punya malah mengeluh atas segala hal yang tidak mereka senangi. Menghadapi kesulitan sedikit saja sudah menyalahkan Tuhan ataupun ornag lain tanpa melihat bahwa dia sendiri yang salah ataupun mencoba mencari jalan keluarnya sendiri. Kita patut mencontoh Pak Ranu dalam mengahadapi hidup kita sehar-hari agar kita bisa selalu mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita.


Refleksi Tika (X2/6):


Setelah mewawancarai Pak Yo saya merasa bahwa selama ini saya menganggap bahwa uang 1000 tidaklah sesuatu yang besar yang perlu untuk dipikirkan dan apabila saya kehilangan uang sebanyak itu saya merasa tidak ada masalah. Pak Yo mungkin berjualan es hanya untuk mengisi waktu jenuhnya karena tidak memiliki pekerjaan apabila hanya berdiam diri saja di rumahnya. Pekerjaannya sebagi penjual es dia kerjakan dengan tulus sehingga dia tidak pernah mengeluh dan merasa tidak pernah kekurangan uang setiap harinya karna ia tuus mengerjakan segala sesuatunya. Selama ini saya selalu tergantung dengan orang tua dan kurang bersyukur akan apa yang telah saya dapatkan serata sering mengeluh dalam mengerjakan sesuatu yang tidak sulit saya lakukan namun Pak Yo selalu mensyukuri apa yang ia dapat,apapun pekerjaannya walau penghasilan hari itu tidak cukup atau pun cukup,ia selalu bersyukur akan apa yang ia dapat. Ia harus bekerja sepanjang hari di bawah teriknya matahari untuk dapat memenuhi kebutuhannya,dan ia mensyukuri berkat yang ia terima namun sering kali sebagai manusia saya lupa bahwa saya telah diberi Tuhan berkat yang cukup. Tanpa perlu bekerja saya dapat memiliki barang atau sesuatu yang saya inginkan. Saya dapat mengatakan “Hari ini makan apa?” bukan “Hari ini makan atau tidak?”. Pak Yo mengajarkan saya untuk dapat bersyukur dan menghargai nilai uang berapapun nilai uang itu.

selesai..!!









Kabahagiaan Tukang Es

Di sebuah sekolah yang terletak di Jl. Bangunan Barat, Kampung Ambon, ada seorang penjual es campur yang bernama Pak Ranu. Para siswa di sekolah itu menyapanya dengan sebutan Pak Yo sebagai panggilan akrab mereka. Pak Ranu bekerja sebagai penjual es di sekolah itu sudah kurang lebih 15 tahun. Sebelumnya, di pernah menjual es tung-tung di daerah Jatinegara dan Rawa Buluk. Jika dihitung, profesinya sebagai tukang es sudah 42 tahun di mulai pasa zaman pemerintahan Presiden Soekarno. Pak Ranu ini seorang kelahiran Sukarjo, Solo. Umurnya sekarang kurang lebih 60 tahun. Ia memiliki seorang istri yang tinggal bersamanya di Jakarta dan 5 orang anak yang sudah bekerja semua. Modalnya dalam menjual es dari dirinya sendiri dan kira-kira mendapat keuntungan Rp 20.000/hari. Penghasilannya sudah cukup baginya karena istrinya pun berdagang bakso di rumahnya. Kadang-kadang es yang ia jual tidak habis. Namun sisanya ia jual di rumah bersama dengan istrinya. Jika anak sekolah libur, ia dan istrinya akan pulang ke kampung. Pak Ranu ternyata mempunyai sawah di kampung warisan dari keluarganya. Namun penghasilan dari bidang pertanian itu pun hanya mencukupi kebutuhan mereka saat waktu panen untuk beberapa hari. Alasannya menjual es di Jakarta hanya sekedar iseng katanya. Dengan penghasilannya yang pas untuk sehari, dia tidak merasa terbebani karena menurutnya, hidup itu harus dinikmati, dan jangan dibawa susah. Pak Ranu mengatakan bahwa semua harapannya sudah terkabul dengan sudah bekerjanya kelima anaknya.

(Tika X2/6 & Marlin X2/17)

MEMBERI ARTI HIDUP -refleksi pribadi-

MEMBERI ARTI HIDUP
-REFLEKSI PRIBADI-

CELLA / X-2 / 14

“Boks kosong yang sesaat sebelumnya dianggap tidak berisi, tidak memiliki nilai apapun, tiba – tiba terisi, tiba – tiba memiliki nilai yang begitu tinggi. Berilah arti dalam hidup kita. Hidup menjadi berarti, bermakna, karena kita memberikan arti kepadanya, memberikan makna kepadanya. Bagi mereka yang tidak memberikan makna dan arti dalam hidup, maka hidup ibarat lembaran kertas yang kosong.”

Setelah saya bertemu langsung dan saling membuka hati dengan Bapak Norsal, pemilik warung minuman kecil di depan gedung pos, saya merasa sangat terkesan dengan kehidupannya. Dia adalah sosok yang sangat tegar menghadapi hidup ini. Dia juga tidak mudah menyerah dalam berbagai hal. Dia juga selalu membuat hidupnya bermakna dan berarti bagi siapapun.
Saya mencoba untuk “memasuki batin” Pak Norsal. Saya merasa bahwa saya harus selalu bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada saya. Seperti halnya Pak Norsal yang selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya. Tanpa mengeluh, ia menjalani hidupnya sebisa mungkin dan membuat hidupnya berarti, bermakna. Hidup jauh dari istri dan anak – anaknya yang dirasa sulit, namun tetap ia jalani dengan lapang dada. Walau ia pun juga harus datang jauh – jauh dari Padang ke Jakarta. Semua dilakukannya hanya demi menghidupi anak- anak dan istrinya. Hanya demi sesuap nasi dan secercah harapan di hari esok untuk istri dan anak – anaknya.
Setelah wawancara tersebut, saya dapat merasakan bahwa cinta Tuhan begitu besar kepada semua “domba – domba” yang dikasihinya. Sebagai salah satu “domba-NYA” yang dikasihinya, saya harus selalu berdoa agar saya diberikan kekuatan saat menghadapi segala rintangan duniawi. Saya juga harus selalu berdoa agar diberikan kemampuan dan mau menyadari segala kekurangan saya dengan rasa bangga. Mungkin, telah banyak waktu yang saya lakukan untuk berdoa kepada Tuhan agar Tuhan mau mengabulkan setiap permintaan saya. Terlalu sering juga saya minta Tuhan untuk menjadikan saya nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang, dan meminta segala sesuatu yang begitu sempurna.
Namun setelah melihat sosok Pak Norsal secara mendalam, saya menyadari bahwa hal tersebut salah. Semua yang saya butuhkan dalam hidup saya hanyalah bimbingan, tuntunan dan panduan Tuhan dalam setiap langkah hidup saya. Saya sering merasa sangat lemah. Saya lemah untuk percaya bahwa saya kuat. Saya juga sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Bahkan, semangat perjuangan saya dalam menghadapi hidup ini sering pudar dan hilang entah kemana. Namun sekarang saya yakin 100 % bahwa Tuhan memberikan saya ujian yang berat, bukan untuk membuat saya lemah, cengeng dan mudah menyerah. Saya juga yakin bahwa sebenarnya Tuhan selalu menggendong saya dalam melewati setiap ujian berat maupun rintangan duniawi. Saya juga percaya bahwa Tuhan selalu menemani saya dalam setiap hembusan nafas saya.
Oleh sebab itu, teman, berdoalah agar kita selalu tegar dalam setiap ujian yang Tuhan berikan. Berdoalah pula agar kita selalu dalam gendongan kasihnya-NYA dan lindungan- NYA saat menghadapi semua ujian tersebut. AMIN.